Usul DPD tentang Otda Satu Tingkat
Kampanye Buruk bagi Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan agar otonomi daerah dilaksanakan di kabupaten/kota atau provinsi saja. Realistiskah usul tersebut? Berikut ulasan Wawan Sobari dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).
---
Ada beberapa argumen mengapa DPD mengusulkan otonomi satu tingkat. Pertama karena besarnya anggaran publik yang harus dikeluarkan untuk membiayai pilkada. Bila otonomi dilaksanakan satu tingkat, pilkada cukup dilakukan di kabupaten/kota atau provinsi saja. Dengan demikian, bisa terjadi penghematan sekitar 50 persen dari total anggaran pilkada satu provinsi secara keseluruhan.Berpotensi Mematikan Inovasi Daerah
DPD secara eksplisit memang tidak memberi kepastian apakah otda satu tingkat akan dilaksanakan di kabupaten/kota atau provinsi. Namun, keduanya memiliki implikasi pada praktik otda selama ini. Bila otda diimplementasikan pada tingkat provinsi, diperkirakan muncul beberapa implikasi.
Pertama, matinya inovasi kabupaten dan kota dalam mengakomodasi kebutuhan serta prakarsa masyarakat. Kabupaten dan kota yang berperan sebagai ujung tombak operasional kebijakan tidak bisa berbuat banyak. Sebab, provinsi lebih dominan mengarahkan kebijakan pembangunan serta pelayanan masyarakat.
Selama tujuh tahun melakukan monitoring dan evaluasi otonomi daerah di Jawa Timur, kemudian di Jogjakarta, Jawa tengah, dan Kalimantan Timur, JPIP menemukan banyak fakta bahwa desentralisasi menjadi faktor pendorong munculnya inovasi daerah.
Delegasi kewenangan berhasil dimanfaatkan untuk mendesain kebijakan serta program dalam peningkatan pelayanan publik, pembangunan ekonomi, dan perbaikan kinerja politik lokal.
Selanjutnya, demokrasi perwakilan menjadi semakin mahal. Proses penganggaran daerah selama ini dinilai tidak mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat secara optimal. Bila proses tersebut dilakukan pada tingkat provinsi, masyarakat daerah semakin sulit memengaruhi kebijakan anggaran yang berpihak pada mereka.
Pun, tingginya potensi konflik kepentingan antarkabupaten dan kota dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat lokal. Daerah saling berlomba mendapat alokasi sumber daya yang cukup untuk memenuhi tujuannya. Situasi itu menjadi tidak sehat bagi hubungan antardaerah.
Terakhir, pemerintah menjadi lebih dominan dan kontraproduktif bagi otonomi daerah. Sebab, provinsi menjadi satu-satunya daerah otonom dan pada saat yang sama merupakan wakil pemerintah di daerah. Akhirnya, daerah menjadi tidak berdaya.
Kabupaten dan kota sudah mengalami situasi itu sebagaimana terungkap dalam serap aspirasi permasalahan daerah oleh DPD pada 2008. Daerah mengeluhkan pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam praktiknya sering tidak pas dengan kondisi serta kebutuhan masyarakat setempat.
Sementara itu, bila otonomi daerah dilaksanakan sepenuhnya di kabupaten dan kota, eksesnya seperti yang sekarang banyak terjadi. Yakni, korupsi APBD yang frekuensinya cukup tinggi. Hal tersebut terjadi karena rendahnya pengawasan dan keterlibatan masyarakat. Selain itu, sistem politik daerah yang terkontaminasi praktik politik uang antara elite, pemilik modal, dan sebagian masyarakat menambah rumit situasi tersebut.
Jalan moderat yang bisa ditempuh di antara dua pilihan itu adalah memperkuat peran provinsi dalam mendorong praktik progresif pelaksanaan otda oleh kabupaten dan kota.
Penting pula provinsi mengawasi produk regulasi daerah, seleksi alokasi anggaran daerah, dan identifikasi dengan cermat kebutuhan masyarakat yang tidak terpenuhi oleh APBD kabupaten/kota. Selanjutnya menjadi instrumen untuk mengidentifikasi kebutuhan riil alokasi dana-dana dari pemerintah dalam skema dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Peran penting lainnya adalah menjembatani kebijakan dan persoalan antardaerah. Salah satunya, pengawasan pemanfaatan sumber daya alam dan konservasi lingkungan di daerah. Contohnya, peran mendorong pelestarian kawasan hutan di Bondowoso demi menjaga kawasan Situbondo dari risiko banjir. Begitu pula pentingnya peran mendorong konservasi kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur di Jawa Barat yang berfungsi vital bagi daerah sekitarnya, termasuk DKI.
Pada saat yang sama, pemerintah bisa memandatkan posisi yang lebih kuat pada masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaan otonomi di tingkat kabupaten/kota. Terutama dalam pengawasan serta penganggaran daerah. Pemerintah tidak saja memberikan ketetapan hukum bagi jaminan keterlibatan masyarakat. Masyarakat pun perlu difasilitasi dan dilatih agar bisa berperan optimal serta objektif, sehingga bisa menghindari dominasi kepentingan politik golongan tertentu.
Pada akhirnya, perlu menjadi perhatian bahwa kebijakan otda bukan menyangkut pertimbangan teknis penyelenggaraan pemerintahan daerah semata. Melainkan pula kesepakatan politik. Maka, usul otda satu tingkat harus dicermati dengan hati-hati. Sebab, bisa saja potensi resentralisasinya lebih besar daripada perbaikan desentralisasi.
Berikutnya, besarnya ekses konflik pascapilkada yang menimbulkan besarnya biaya sosial dan politik dibanding biaya pilkada itu sendiri. Contohnya, konflik pilkada Maluku Utara yang berlarut-larut. Luka perpecahan dan friksi di tingkat masyarakat cukup sulit disembuhkan dalam waktu singkat, sehingga bisa mengganggu aktivitas masyarakat dan pemerintahan.
Terakhir, rendahnya efektivitas koordinasi yang berujung konflik. Ego kedaerahan memunculkan agenda eksklusif dalam prioritas pembangunan daerah. Kabupaten/kota dan provinsi memiliki agenda yang sering sulit diselaraskan dalam pembangunan.
Apalagi menyangkut bagi hasil sumber daya keuangan antara kabupaten/kota dan provinsi. Risiko konflik yang ditimbulkan lebih besar. Ditambah perbedaan kendaraan politik masing-masing kepala daerah yang saling bersaing.
Efisiensi dan Demokrasi
Usul otonomi satu tingkat sebenarnya menambah daftar kampanye merugikan terhadap praktik otonomi daerah (otda). Sebab, wacana tersebut lebih mewakili pendapat negatif terhadap otda. Serta, seolah-olah menjadi solusi kegagalan otda yang dipraktikkan daerah, sementara melupakan sejumlah keberhasilan daerah.
Tengok saja argumen efisiensi anggaran dan demokrasi yang menjadi landasan DPD mewacanakan usul tersebut. Dalam nota sidang paripurna khusus DPD 2008 dijelaskan praktik pilkada berbiaya tinggi. Asumsinya, biaya yang dikeluarkan belum tentu sejalan dengan kemanfaatan publik atas hasil pilkada.
Persoalannya, mengapa pilkada yang harus dipersoalkan dan menjadi dasar untuk melakukan otda satu tingkat? Padahal, hasil pilkada bergantung pada beberapa komponen pendukungnya. Misalnya, proses pencalonan dan kualitas calon yang diusung partai politik. Lahirnya kepala daerah yang bermanfaat bagi daerah harus pula dipertanyakan pada dua komponen tersebut.
Berdasar hasil studi JPIP sejak 2001, lahirnya kebijakan progresif dan berpotensi memajukan daerah bergantung pada komitmen bupati serta wali kota. Komitmen tersebut merupakan akumulasi antara kualitas individu dan kepemimpinan kepala daerah. Sementara faktor lainnya hanyalah sebagai pendukung.
Argumen efisiensi dan demokrasi tidak selamanya bertolak belakang. Sebab, pada dasarnya efisiensi bisa dilakukan tanpa mengurangi nilai demokrasi. Pemerintah bisa mendesain satu proses pilkada yang efisien tanpa harus mendistorsi tujuan demokrasi.
Untuk itu, DPD bisa belajar pada desain UU No 10/2008 tentang Pemilu. Regulasi tersebut berhasil mengompromikan batas kursi di parlemen secara nasional bagi partai politik yang bisa ikut dalam pemilu. Yakni, minimal 2,5 persen.
Dengan batas tersebut, pemilu nanti hanya diikuti oleh partai yang memiliki dukungan massa cukup, sehingga fragmentasi partai di parlemen akan berkurang. Secara teoretis akan mendorong efisiensi pengambilan keputusan penting.
Apalagi bila pemilihan presiden dan anggota DPR bisa dilakukan secara serentak dalam pemilu berikutnya. Maka, efisiensi politik benar-benar akan terjadi, tanpa mengabaikan tujuan dan metode demokrasi. Sebab, partai politik dan kandidat pemimpin yang turut serta dalam pemilu semakin terseleksi, sehingga friksi politik pada tingkat elite dan masyarakat bisa diminimalkan. Kabupaten-Kota Akan Protes
Otonomi daerah satu tingkat pada provinsi lebih realistis. Alasan utamanya, tercipta keadilan dan pemerataan antardaerah. Inilah wawancara JPIP dengan guru besar FISIP Universitas Airlangga, Kacung Marijan.
---
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan otonomi daerah satu tingkat, bagaimana pendapat Anda?
Secara teoretis, terdapat perdebatan mengenai pilihan otonomi satu tingkat. Alasan utama terkait dengan pemerataan ekonomi. Bila otonomi difokuskan pada tingkat kabupaten atau kota, konsekuensinya, pemerataan ekonomi antardaerah terabaikan. Bisa muncul daerah yang maju secara ekonomi. Namun, ada pula daerah yang ketinggalan. Jadi, otonomi satu tingkat pada provinsi merupakan jalan tengah.
Apa argumen yang tepat untuk usul tersebut?
Keadilan serta pemerataan ekonomi dan infrastruktur. Bila provinsi menjadi fokus utama otonomi daerah, akan terjadi pemerataan. Meskipun bukan jaminan pemerataan akan serta-merta terjadi.
Selain itu, Indonesia sudah punya pengalaman untuk hal tersebut, seperti penerapan otonomi khusus di Aceh dan Papua. Begitu pula penetapan DKI sebagai daerah khusus.
Terkait usul tersebut, siapa paling berkompeten mendorongnya?
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan catatan, perlu melakukan kajian serius terlebih dahulu.
Apa resistensi yang mungkin muncul terkait dengan usul itu?
Salah satunya mendapatkan protes dari daerah-daerah kaya. Baik daerah kaya sumber daya alam maupun daerah yang menjadi pusat jasa. Misalnya, Kota Surabaya yang sumber pendapatan asli daerahnya cukup banyak dan potensial.
Apa konsekuensi politik yang diakibatkan perubahan tersebut?
Yang paling konkret adalah perubahan otoritas ke gubernur menjadi semakin besar. Selain itu, diikuti proses pemilihan kepala daerah yang terfokus pada tingkat provinsi.
Apa jalan tengah agar resistensi dan konsekuensi tersebut jadi minimal?
Penegakan prinsip berbagi. Yaitu, berbagi tanggung jawab. Tidak serta-merta karena provinsi menjadi fokus utama otonomi daerah, kabupaten dan kota hanya jadi bawahan. Harus terjadi pembagian peran yang tepat
Hubungan Pusat-Daerah dalam Sidang Paripurna DPD 2008
Pilkada Dibanggakan, Pemekaran Dikeluhkan
Jumat lalu (22/8), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyelenggarakan sidang paripurna. Redhi Setiadi dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) mencatat beberapa hal penting tentang pelaksanaan otonomi daerah.
---
Ada suasana lain di sidang paripurna khusus DPD pekan lalu. Suasana yang awalnya terkesan tegang dan monoton tiba-tiba pecah oleh gelak tawa dan tepuk tangan peserta sidang. Itu tak lain karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tiba-tiba menghentikan pidatonya untuk menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Sebagaimana diberitakan dalam situs resminya, Presiden SBY melontarkan dua kemungkinan mengapa dia berkeringat. "Mohon maaf, kalau berkeringat seperti ini pasti ada dua kemungkinan," katanya. "Pertama, mungkin karena penghematan energi. Maka, AC dikurangi. Sama seperti di istana, panas," ujar SBY disambut gelak tawa anggota dewan.
"Kedua, berkeringat karena kita semua di sini sangat bersemangat," lanjutnya. Tepuk tangan kemudian membahana di Ruang Nusantara Gedung MPR/DPR/DPD.
Presiden pantas berkeringat. Dia harus menyampaikan keterangan pemerintah mengenai arah dan kebijakan pembangunan nasional dan daerah serta masalah-masalah kebangsaan yang terangkum dalam 17 halaman kuarto. Mengenai otonomi daerah, presiden merangkumnya dalam tiga ranah. Yakni desentralisasi politik, fiskal, dan administrasi.
Pertama, pada ranah desentraliasi politik, presiden membanggakan kondusifnya situasi politik dan keamanan di daerah yang memungkinkan terselenggaranya pilkada di beberapa penjuru tanah air. Pilkada merupakan perwujudan desentralisasi politik.
Pemerintah patut bangga. Sebab, sejak 1 Juni 2005 hingga 20 Agustus 2008, telah terselenggara 414 pilkada, baik pemilihan gubernur maupun bupati/wali kota. Karena itu, pada akhir 2008, seluruh gubernur, bupati, dan wali kota di Indonesia sudah terpilih langsung oleh rakyat di daerah. Presiden juga mengapresiasi keikutsertaan calon perseorangan dalam proses demokrasi di daerah mulai tahun 2008.
Pada bagian lain pidatonya, presiden juga menyadari perjalanan otonomi daerah yang terkesan maju-mundur. Ini sekaligus merupakan respons terhadap temuan DPD yang menyebutkan masih banyak peraturan perundangan yang tidak satu penjuru dengan semangat otonomi daerah.
Menurut presiden, itu semua merupakan bagian dari proses evolusi. Itu juga terjadi di negara lain. Karena itu, otonomi daerah kadang diwarnai proses desentralisasi, resentralisasi, redesentralisasi, dan lain-lain.
Kedua, desentralisasi fiskal. Dalam pidatonya, presiden menyampaikan kabar gembira bagi daerah. Sebab, pemerintah berencana mengalokasikan dana transfer ke daerah pada 2009 sebesar Rp 303,9 triliun. Naik sebesar Rp 174,2 triliun dari tahun 2004 atau naik 134,3 persen.
Anggaran tersebut direncanakan berbentuk dana bagi hasil Rp 89,9 triliun atau mengalami kenaikan 144,9 persen dari tahun 2004, dana alokasi umum (DAU) Rp 183,4 triliun atau naik 123,3 persen dari tahun 2004, dan dana alokasi khusus (DAK) Rp 22,3 triliun atau naik lebih dari empat setengah kali lipat dari tahun 2004.
Sementara itu, dana otonomi khusus untuk Aceh, Papua, dan Papua Barat direncanakan Rp 8,3 triliun, naik empat kali lipat dari 2004. Selain itu, pertama dalam sejarah pusat-daerah, pemerintah juga mengalokasikan dana bagi hasil cukai tembakau dua persen kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau.
Pemerintah patut berbangga dengan kian derasnya dana yang mengalir ke daerah. Sebab, kenaikan yang berlipat-lipat dana itu melampaui angka inflasi setiap tahun yang rata-rata sembilan persen. Sayang, pada pidato tersebut presiden masih saja tidak menyebut jumlah dana yang mengalir dari daerah ke pusat. Jangan-jangan, meskipun persentasenya naik, sebenarnya dana yang mengalir ke pusat jauh lebih besar daripada yang dialirkan kembali ke daerah.
Ketiga, pada ranah desentralisasi administrasi, presiden mengapresiasi upaya pemerintah daerah dalam menyederhanakan proses perizinan.
"Saya memberikan apresiasi terhadap inisiatif dari pemerintah daerah yang melakukan penyederhanaan proses perizinan di daerah, dengan menyediakan kantor pelayanan perizinan terpadu," kata presiden.
Menurut presiden, tumbuhnya kantor pelayanan satu pintu di berbagai daerah memperlihatkan terjadinya peningkatan kesadaran pemerintah daerah tentang pentingnya perbaikan iklim investasi.
Ada kontradiksi pada pernyataan presiden itu. Sebab, inisiatif daerah dalam menyederhanakan proses perizinan yang sudah sampai pada taraf pembentukan kantor pelayanan satu pintu justru dimundurkan oleh pusat dengan diterbitkannya PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pada PP itu, secara tersirat pemerintah tidak lagi mendorong pembentukan lembaga perizinan satu pintu, melainkan hanya perizinan satu atap.
Padahal, sebelum PP itu terbit, ada Permendagri 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang mengamanatkan kepada daerah "wajib" membentuk lembaga perizinan satu pintu.
Pemekaran daerah juga disinggung presiden. Bahkan, secara tegas presiden meminta pemekaran daerah segera dievaluasi. Sebab, sejak 1999 hingga sekarang, telah terbentuk 191 daerah otonom baru. Terdiri atas 7 provinsi, 153 kabupaten, dan 31 kota. Dengan demikian, saat ini Indonesia terdiri atas 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91 kota.
Lebih dari evaluasi, seharusnya pemekaran daerah dihentikan untuk sementara (moratorium). Sebab, selama ini pemerintah belum menyampaikan kepada publik perkembangan daerah otonom yang dibentuk pada 1999. Ditengarai, pemekaran daerah yang terjadi hingga saat ini hanya akan memberatkan anggaran negara. Terlebih, pemekaran didominasi motif politis elite lokal. (mk/e-mail: redhi@jpip.or.id)
Usulkan Otda Satu Tingkat Saja
Sidang paripurna tahunan keempat DPD ini mengambil tema Rekonstruksi Kebijakan Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah serta Implementasinya. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan lembaga senator daerah itu.
Pertama, DPD mengeluhkan masih adanya inkonsistensi antara kebijakan dasar desentralisasi dan kebijakan-kebijakan lain pemerintahan. Inkonsestensi kebijakan itu berwujud tidak sinkronnya regulasi-regulasi sektoral dengan regulasi otonomi daerah. Masih banyak produk perundangan-undangan yang belum disinkronkan.
Karena dualisme peraturan perundangan di daerah itu, kerap terjadi kerancuan dan ketidakpastian. Antara lain pada kegiatan ekonomi di daerah. Sayang, DPD tidak merinci UU apa saja yang tidak konsisten dengan semangat desentralisasi itu.
Menurut evaluasi JPIP, memang masih banyak ditemukan UU, PP, peraturan menteri, dan surat edaran menteri yang tidak berpenjuru pada semangat otonomi daerah. Dalam satu departemen pun, seperti Departemen Dalam Negeri (Depdagri), proses penyelarasan peraturan perundangan juga tidak berjalan. Akibatnya, peraturan pelaksana satu UU saja bisa saling bertentangan.
Kedua, DPD mengkritisi struktur bangunan otonomi daerah yang disusun sebagai bangunan berjenjang (hierarchical autonomy). Yakni di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Wujudnya, beberapa kewenangan yang didesentralisasikan masih terbagi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Akibatnya, dalam pelaksanaannya masih terlihat benturan-benturan karena belum jelasnya batas-batas kewenangan antara dua tingkat otonomi tersebut.
Untuk itu, DPD mengusulkan peninjauan kembali dikotomi provinsi dan kabupaten/kota sebagai basis pelaksanaan otonomi daerah. DPD melontarkan kemungkinan agar otonomi daerah dilaksanakan pada satu tingkat saja, apakah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Lontaran gagasan DPD itu menarik untuk dikaji. Bisa jadi, ini akan menjadi bola panas yang makin mempertentangkan peran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam otonomi daerah. Memang sudah saatnya, peran dan fungsi provinsi yang kian tanggung seperti saat ini segera dicarikan solusi.
Menarik otonomi ke tingkat provinsi jelas merupakan kemunduran. Sebab, akan makin menjauhkan pemerintah dengan masyarakat. Wilayah Indonesia yang amat luas tidak cocok jika otonomi daerah diletakkan di provinsi.
Provinsi sebaiknya diperankan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Tugas dan fungsinya bersifat konsultatif dan supervisi atas segala kebijakan yang dibuat pemerintah kabupaten/kota.
Ketiga, seiring dengan semakin besarnya dana pusat yang mengalir ke daerah, DPD mengharapkan pemerintah meningkatkan pemberdayaan (empowerment) serta memberikan bimbingan dan petunjuk. Terutama yang berkenaan dengan proses penganggaran dan pembiayaan di daerah.
Karena itu, BPK (Basan Pemeriksa Keuangan) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu melakukan supervisi dan tuntunan pada jajaran penyelenggara pemerintahan di daerah untuk menegakkan disiplin anggaran agar mencegah korupsi dan pemborosan keuangan negara.
Banyaknya kasus korupsi di daerah terutama disebabkan oleh tidak jelasnya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang regulasi penganggaran pemerintah daerah. Ini bisa dilihat dari banyaknya kepala daerah dan birokrat daerah yang terjerat kasus korupsi karena dianggap melanggar PP, permendagri, permenkeu, ataupun surat edaran menteri. Celakanya, regulasi-regulasi itu biasanya terbit belakangan, namun berlaku surut.
Terkait dengan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, DPD menyoroti perencanaan dan pemrogramannya. Praktik yang terjadi saat ini, daerah seolah hanya ditempati kegiatan yang tidak terukur dan tidak berada dalam kerangka perencanaan pembangunan daerah.
Selain itu, atas nama dana dekonsentrasi, telah tumbuh unit-unit kerja kepanjangan tangan pusat atau UPT-UPT yang di banyak daerah tidak dibutuhkan. Bahkan, tumpang-tindih dengan dinas-dinas otonomi.
Temuan JPIP juga menyiratkan hal yang sama. Kadang, pembentukan dinas baru di daerah dimotivasi agar bisa mendapatkan dana dekonsentrasi dari departemen pusat. Sebab, dana tersebut tidak bisa turun jika tidak ada instansi di daerah yang satu rumpun dengan departemen di pusat.
Karena itu, DPD menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan dana-dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dialihkan menjadi anggaran-anggaran yang langsung dialokasikan ke daerah. Misalnya dalam bentuk DAU.
Untuk menepis penilaian selama ini bahwa DPD hanya memikirkan upaya penguatan kewenangan, lembaga para senator itu juga melaporkan hasil yang telah dicapai selama empat tahun masa kerja.
Sejak 2004, DPD telah menghasilkan 154 buah produk. Rinciannya, 10 buah usul inisiatif RUU, 83 pandangan, pendapat, dan pertimbangan mengenai berbagai rancangan undang-undang baik yang berasal dari presiden maupun DPR, dan 38 produk hasil pengawasan. Selain itu, ada 23 keputusan yang berkaitan dengan APBN.
Sayangnya, di antara sepuluh buah RUU inisiatif yang telah disampaikan kepada DPR, baru satu RUU yang ditindaklanjuti oleh DPR. Yakni RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU 3/1950 tentang Pembentukan DI Jogjakarta.